Jumat, 04 Maret 2016

Multikultur

Pembahasan
A. Perspektif Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Wacana multikulturalisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter-militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antarsuku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
B. Implementasi Dalam Dunia Pendidikan
Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
• Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
• Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
• Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
• Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
BAB III
Penutup
Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMU maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Out Bond Program, dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA
Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.




Artikel dan berita tentang pengertian ras menurut para ahli mungkin telah berada pada daftar posting yang telah dipublis pada situs ini, namun mungkin anda belum menuliskan kata kunci yang tepat, bila belum menemukan yang sesuai dengan pengertian ras menurut para ahli, Anda dapat melakukan pencarian dengan kata kunci yang lain, pada search di situs kafeilmu ini, atau dengan melihat daftar post pada Sitemap, atau Homepage. Anda juga bisa request untuk memuat artikel tentang pengertian ras menurut para ahli pada kolom komentar. Bahkan anda dapat juga dapat mengirimkan artikel Anda ke email kami, mykafes@gmail.com.

Read more: http://kafeilmu.com/tema/pengertian-ras-menurut-para-ahli.html#ixzz1YDNj0eRW



Arti Definisi/Pengertian Status Sosial & Kelas Sosial - Stratifikasi/Diferensiasi Dalam Masyarakat
Sun, 05/10/2008 - 12:26am — godam64
Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di rt atau rw kita ada orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.
Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain.
Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial (pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial (pembeda-bedaan).
Arti Definisi / Pengertian Status Sosial :
Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.
Arti Definisi / Pengertian Kelas Sosial :
Kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi (menurut Barger). Ekonomi dalam hal ini cukup luas yaitu meliputi juga sisi pendidikan dan pekerjaan karena pendidikan dan pekerjaan seseorang pada zaman sekarang sangat mempengaruhi kekayaan / perekonomian individu.
Arti Definisi / Pengertian Stratifikasi Sosial :
Stratifikasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara vertikal atau atas bawah. Contohnya seperti struktur organisasi perusahaan di mana direktur berada pada strata / tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada struktur mandor atau supervisor di perusahaan tersebut.
Arti Definisi / Pengertian Diferensiasi Sosial :
Diferensiasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara horisontal atau sejajar. Contohnya seperti pembedaan agama di mana orang yang beragama islam tingkatannya sama dengan pemeluk agama lain seperti agama konghucu, budha, hindu, katolik dan kristen protestan.
Artikel Terkait :
- Jenis / Macam Status Sosial Dan Stratifikasi Sosial






 Pengantar
Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera
menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik tersebut. Kelangkaan itu begitu
hebat sehingga seorang mahasiswaunderg raduat e yang baru mulai belajar tentang
Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya (Levine 1969). Ia menilai para sarjana
di zaman itu hanya sibuk dengan perkembangan politik harian di parlemen, partai politik
dan birokrasi pemerintah. Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan
pedagang atau tuan tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai
‘massa’. Walau hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik
itu jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian
Benedict Anderson – seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia – sambil lalu
mengatakan bahwa ada beberapa karya “yang menunjukkan bahwa seruan Levine (untuk
memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89). Tidak jelas
karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana dalam database
elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa tak seorang pun yang
dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah ilmuwan Indonesia.
Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia modern, menghilangnya konsep
dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan cepat dikaitkan dengan munculnya Orde
Baru. Seperti halnya penghancuran berbasis kelas ‘membersihkan lahan’ bagi
pembangunan (Hilmar Farid 2000), represi dalam dunia keilmuan ‘membersihkan
pikiran’ dan diiringi oleh apa yang oleh seorang penulis disebut ‘de-edukasi’ (Ward
1973: 75). Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik
dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif
semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam
istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini
sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri.
Penulis dan ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah
dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk




SUKU SUNDA
MENULIS sebuah risalah dengan karakteristik ilmiah untuk judul di atas, jelas bukan pekerjaan mudah. Namun dengan berbagai pertimbangan, sekedar beropini, menulis mengenai hal tersebut tampaknya tidak ada salahnya. Sebagai elemen pendukung budaya Sunda memang seharusnya merasa terpanggil untuk concern terhadap dinamika dan problematika budaya tatali karuhun ini.
Kajian ini tidak akan menapak lekat pada budaya dalam perspektif sejarah. Selain kajian bernuansa sejarah telah disinggung dalam tulisan sebelumnya, tidak ada salahnya melihat topik ini dari perspektif kekinian. Yakni pada saat wacana demokrasi yang berkembang di masyarakat, boleh jadi baik semangat maupun implementasinya, kurang relevan dengan pengalaman hidup “urang Sunda” di masa lalu.
Ide-ide globalisasi dan demokratisasi yang berkembang saat ini, pada dasarnya tidak akan menghapus eksistensi kelompok-kelompok budaya yang ada di masyarakat dunia, malah boleh jadi akan menjadi pengikat yang kuat untuk itu. Hal itu sebagaimana prediksi John Naisbit tentang kemunculan gejala tribalisme di tengah gejolak globalisme. Sehubungan dengan itu, maka wacana mengenai topik ini sangat penting, khususnya sebagai upaya mencari benang merah serta ontorelasi antara budaya Sunda dengan fenomena global. Sehingga budaya Sunda tetap mampu memberikan kontribusi berarti bagi kehidupan, khususnya kepada masyarakat pendukung budayanya.
Sunda dan Kekuasaan
MEMBINCANGKAN kekuasaan dalam perspektif lama budaya Sunda seolah berhadapan dengan tudingan ketabuan. Kekuasaan dipersepsikan sebagai simbol keserakahan dan ambisi, yang senantiasa meniscayakan tumbuhnya konflik, apalagi bila diraih di luar tatanan yang sudah ada. Dinamika budaya selama ini belum memposisikan kekuasaan sebagai resource. Ini mengandung makna, kekuasaan belum dilihat sebagai bagian bagian penting dalam mengembangkan martabat budaya dan masyarakat Sunda di tengah semangat kebangsaan dan kesejagatan. Sementara sinyal masa depan mengasumsikan, tidak akan ada eksistensi budaya lokal tanpa resouce kekuasaan yang signifikan dari pendukung budayanya.
Realitas budaya masyarakat Sunda dalam meraih kekuasaan terdeskripsikan dalam kecendrungan masyarakat ini dalam berpolitik. Paham budaya yang mengindentikan kekuasaan sebagai sumber konflik, dan politik yang ditabukan, telah membuahkan realitas budaya berpolitik imperior pada etnis dengan populasi kedua terbesar di Indonesia ini.
Saat PNI di masa orde lama, ataupun Golkar di masa orde baru, Jawa Barat selalu menjadi penyumbang suara sangat signifikan bagi kedua kekuatan politik tersebut. Demikian pula fakta bahwa PKI yang tidak pernah berhasil menguasai Indonesia, karena selau tidak pernah menguasai masyarakat Jawa Barat yang religius. Namun hasilnya apa? Sangat tidak banyak elit-elit politik nasional yang lahir benar-benar dari kesejarahan budaya Sunda. Fenomena terisinya sebagian besar kursi di DPRD Jabar oleh kelompok mukimin (pendatang), memperkuat dugaan bahwa masyarakat Sunda “tidak pandai berpolitik” namun sebagai “pendukung politik potensial”. Jelas gambaran itu tidak menggambarkan penguasaan resource yang elegant di tengah kancah pergumulan kehidupan yang bernuansa kompetensi antar kelompok dalam masyarakat.
Hampir sulit saat ini menemukan figur nasional Sunda yang memiliki latar belakang kuat dengan perjuangan Ki-Sunda. wajar bila mereka kemudian tidak memiliki hutang sejarah dengan perkembangan budaya Sunda. Kalaupun ada, hanya elit-elit politik untuk skala lokal, yang nyaring bersuara kepentingan ‘Budaya Sunda”, namun kecil akseptabillitas pada permasalahan akar rumput. Isyu-isyu kedaerahan sering dijadikan agenda politik, namun tidak pada implementasi kebijakan. Dalam bahasa sehari-hari mahasiswa, fenomena ini disebut “Lebih berciri retorika ketimbang realita”.
Hampir sulit dipahami, bagaimana maraknya pendidikan di Jabar, lembaga tinggi sipil (PTN maupun PTS) dan militer (sesko-sesko) berwibawa di sini. Alhasil anggaran pendidikan yang bergulir di sini jelas berjumlah signifikan, namun hasilnya apa khususnya bagi Ki-Sunda? Tamatan yang melanjutkan ke pendidikan Tinggi masih di bawah 65%, tingkat pendidikan masyarakat Sunda pituin untuk pendidikan tinggi masih lebih rendah dari pada pendatang, dsb.
Sampai saat ini jumlah investasi (PMA dan PMDN) di Jabar masih paling besar dibanding daerah lain di Indonesia. Namun faktanya jumlah TKI (unskill) asal Jabar masih tetap dominan, backwash effect terhadap tabungan masyarakat Jabar juga masih tetap berjalan. Ironisnya tingkat pendapatan masyarakat, serta angka partisipasi tenaga kerja, masyarakat Sunda pituin  di Jabar juga lebih buruk keadaannya dibanding masyarakat pendatang.
Ujung-ujungnya angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) Jabar berada di posisi yang tidak berwibawa, dibanding daerah lain di Indonesia. Bila patokan di atas digunakan, di mana tingkat kehidupan masyarakat Sunda pituin, lebih rendah dibanding masyarakat pendatang, maka IPM urang Sunda lebih parah lagi keadaannya.
Data-data di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai lemahnya posisibargaining power masyarakat Sunda dalam budaya kekuasaan. Serta terjadinya paradoksal antara budaya kekuasaan Sunda dengan komitmen kebijakan pada tataran implementasi. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa budaya kekuasaan Sunda saat ini adalah pendulum kekuasaan vertikal.
Perubahan Budaya Kekuasaan: Pespektif Demokrasi
KOMITMEN reformasi serta semangat Indonesia baru, adalah momen yang tepat untuk mengkoreksi persepsi masyarakat Sunda dalam mengapresiasi budaya kekuasaan. Budaya kekuasaan yang bernuansa ramah, toleran, dan inklusif; seyogyanya segera dipertimbangkan kembali. Pandangan hidup orang Sunda terhadap kekuasaan, adalah bagian yang tidak terpsiahkan dengan pandangan hidup orang Sunda dalam mengejar lahir batin (Yus Rusyana, dkk, 1989).
Secara umum, pandangan hidup orang Sunda dalam mengejar lahir batin telah banyak bergeser dari pola lama. Hal ini banyak disebabkan oleh pengaruh dinamika kebudayaan, baik dari dalam maupun dari luar. Maka dalam konteks budaya kekuasaan, ruang perubahan paradigma politik masyarakat Sunda harus pula dibuka selebar-lebarnya.
Hampir sulit membayangkan hadirnya sebuah eksistensi tanpa keseriusan yang berarti dalam mengelola potensi politik yang dimiliki. Dalam konteks kekinian masyarakat Sunda, prasyarat untuk itu adalah mengubur stigma politik dalam wacana budaya masyarakat. Kemudian perlu dilakukan pula upaya memobilisasi partisipasi keklompok-kelompok kepentingan dalam satu irama kerja yang harmonis. Jelas membutuhkan waktu untuk proses, namun harus segara dimulai.
Secara generik, budaya Sunda memiliki karakteristik egalitarian sebelum terganggu dengan masuknya pengaruh budaya “mataraman” ke dalam struktur subkultur Priangan. Ini potensi yang besar untuk terjadinya mobilisasi horizontal, maupun menanamkan nilai-nilai demokratis. Fenomena ini di satu sisi, memberi angin segar untuk munculnya potensi partisipasi, namun di sisi lain akan menggugatperformance dan pola kekuasaan yang ada saat ini.
Dalam perspektif demokrasi, kekuasaan harus menjadi anak kandung dari partisipasi sosial, sekaligus harus menapakkan diri pada kecendrungan masyarakatnya. Dengan demikian, kekuasaan harus dilahirkan dan melahirkan, dinamika budaya masyarakatnya. Dalam arti yang lain budaya kekuasaan Sunda dalam perspektif demokrasi, harus menjadi pendulum vertikal sekaligus horizontal.
Sumber: Seminar “Sunda dan Budaya Kekuasaan”, Fordimasi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 07 April 2003.
LIHAT INDEKS ARTIKEL
Like


PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang memiliki
keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata adanya kemajemukan
di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya kebudayaan di Indonesia. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia yang
menjadi sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu pula
sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti begitu besar
kaitan antara kebudayaan dengan masyarakat.

masyarakat umum
Perbedaan status di antara kelompok elite dengan masyarakat umum dapat terjadiberdasarkan status kedudukan, pendidikan, ekonomi, prestige sosial dan kuasa. RobertWessing, yang telah meneliti masyarakat Jawa Barat mengatakan bahwa ada kelompok“in group” dan “out group” dalam struktur masyarakat. Kaum memandang sesamanyasebagai “in group” sedang di luar status mereka dipandang sebagai “out group.
W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision–making Process in Four West Java
Villages (1971) juga menyimpulkan bahwa ada stratifikasi masyarakat ke dalam
kelompok elite dan massa. Elite setempat terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan
pusat, guru, tokoh-tokoh politik, agama dan petani-petani kaya. Selanjutnya, petani
menengah, buruh tani, serta pedagang kecil termasuk pada kelompok massa. Informal
leaders, yaitu mereka yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat
berpengaruh di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin kelompok khusus atau
seluruh desa.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau keluarga
dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting. Hal itu bukan
hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat hubungan itu yang
langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan
horisontal (dulur, dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah
ketertiban dan kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan
lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo,
suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari
paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan
menentukan kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya,
menentukan bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling
menolong di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya
pernikahan di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk
mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi
derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari yang
sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Suku Sunda merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Jawa. Suku Sunda
memiliki kharakteristik yang unik yang membedakannya dengan masyarakat suku lain.
Kekharakteristikannya itu tercermin dari kebudayaan yang dimilikinya baik dari segi
agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian, dan lain sebagainya.
Kebudayaan yang dimiliki suku Sunda ini menjadi salah satu kekayaan yang dimiliki
oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya. Dengan membuat makalah
suku Sunda ini diharapkan dapat lebih mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan suku
Sunda tersebut dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan yang pada
kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia kependidikan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0505/06/0802.htm
http://www.kpsnusantara.com/reflect/malay/Riwayat%20Singkat%20Pencak%20Silat%2
0Cikalong.htm
http://www.bogor.indo.net.id/bogor/kebudayaan.htm
http://www.bogor.indo.net.id/bogor/kebudayaan.htm
http://roron.wordpress.com/2007/08/05/pancakaki/
http://mustikaayu-wedding.com/pengantin_sunda_singer.jpg
http://www.indonesiamedia.com/2004/06/early/budaya/images/melayujawa/Pg-180.jpg
http://uploader.allbandung.com/files/6/images.jpg
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2007/032007/23/07-
box%2520ujian%2520tari.gif&imgrefurl=http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2007/032007/23/07a.htm&h=371&w=350&sz=88&hl=id&start=5&tbn
id=GzSx1ujfSKoLlM:&tbnh=122&tbnw=115&prev=/images%3Fq%3Dkesenian%2Bsun
da%26gbv%3D2%26svnum%3D10%26hl%3Did%26sa%3D
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2007/072007/10/belia/belia-aksi.gif&imgrefurl=http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2007/072007/10/belia/aksi.htm&h=375&w=250&sz=58&hl=id&start=
6&tbnid=Chjb41wLGEaUtM:&tbnh=122&tbnw=81&prev=/images%3Fq%3Dkesenian
%2Bsunda%26gbv%3D2%26svnum%3D10%26hl%3Did%26sa%3DG
Sunda dan Kekuasaan
MEMBINCANGKAN kekuasaan dalam perspektif lama budaya Sunda seolah berhadapan dengan tudingan ketabuan. Kekuasaan dipersepsikan sebagai simbol keserakahan dan ambisi, yang senantiasa meniscayakan tumbuhnya konflik, apalagi bila diraih di luar tatanan yang sudah ada. Dinamika budaya selama ini belum memposisikan kekuasaan sebagai resource. Ini mengandung makna, kekuasaan belum dilihat sebagai bagian bagian penting dalam mengembangkan martabat budaya dan masyarakat Sunda di tengah semangat kebangsaan dan kesejagatan. Sementara sinyal masa depan mengasumsikan, tidak akan ada eksistensi budaya lokal tanpa resouce kekuasaan yang signifikan dari pendukung budayanya.
Realitas budaya masyarakat Sunda dalam meraih kekuasaan terdeskripsikan dalam kecendrungan masyarakat ini dalam berpolitik. Paham budaya yang mengindentikan kekuasaan sebagai sumber konflik, dan politik yang ditabukan, telah membuahkan realitas budaya berpolitik imperior pada etnis dengan populasi kedua terbesar di Indonesia ini.
Saat PNI di masa orde lama, ataupun Golkar di masa orde baru, Jawa Barat selalu menjadi penyumbang suara sangat signifikan bagi kedua kekuatan politik tersebut. Demikian pula fakta bahwa PKI yang tidak pernah berhasil menguasai Indonesia, karena selau tidak pernah menguasai masyarakat Jawa Barat yang religius. Namun hasilnya apa? Sangat tidak banyak elit-elit politik nasional yang lahir benar-benar dari kesejarahan budaya Sunda. Fenomena terisinya sebagian besar kursi di DPRD Jabar oleh kelompok mukimin (pendatang), memperkuat dugaan bahwa masyarakat Sunda “tidak pandai berpolitik” namun sebagai “pendukung politik potensial”. Jelas gambaran itu tidak menggambarkan penguasaan resource yang elegant di tengah kancah pergumulan kehidupan yang bernuansa kompetensi antar kelompok dalam masyarakat.
Hampir sulit saat ini menemukan figur nasional Sunda yang memiliki latar belakang kuat dengan perjuangan Ki-Sunda. wajar bila mereka kemudian tidak memiliki hutang sejarah dengan perkembangan budaya Sunda. Kalaupun ada, hanya elit-elit politik untuk skala lokal, yang nyaring bersuara kepentingan ‘Budaya Sunda”, namun kecil akseptabillitas pada permasalahan akar rumput. Isyu-isyu kedaerahan sering dijadikan agenda politik, namun tidak pada implementasi kebijakan. Dalam bahasa sehari-hari mahasiswa, fenomena ini disebut “Lebih berciri retorika ketimbang realita”.
Hampir sulit dipahami, bagaimana maraknya pendidikan di Jabar, lembaga tinggi sipil (PTN maupun PTS) dan militer (sesko-sesko) berwibawa di sini. Alhasil anggaran pendidikan yang bergulir di sini jelas berjumlah signifikan, namun hasilnya apa khususnya bagi Ki-Sunda? Tamatan yang melanjutkan ke pendidikan Tinggi masih di bawah 65%, tingkat pendidikan masyarakat Sunda pituin untuk pendidikan tinggi masih lebih rendah dari pada pendatang, dsb.
Sampai saat ini jumlah investasi (PMA dan PMDN) di Jabar masih paling besar dibanding daerah lain di Indonesia. Namun faktanya jumlah TKI (unskill) asal Jabar masih tetap dominan, backwash effect terhadap tabungan masyarakat Jabar juga masih tetap berjalan. Ironisnya tingkat pendapatan masyarakat, serta angka partisipasi tenaga kerja, masyarakat Sunda pituin  di Jabar juga lebih buruk keadaannya dibanding masyarakat pendatang.
Ujung-ujungnya angka Indek Pembangunan Manusia (IPM) Jabar berada di posisi yang tidak berwibawa, dibanding daerah lain di Indonesia. Bila patokan di atas digunakan, di mana tingkat kehidupan masyarakat Sunda pituin, lebih rendah dibanding masyarakat pendatang, maka IPM urang Sunda lebih parah lagi keadaannya.
Data-data di atas memberikan gambaran yang jelas mengenai lemahnya posisibargaining power masyarakat Sunda dalam budaya kekuasaan. Serta terjadinya paradoksal antara budaya kekuasaan Sunda dengan komitmen kebijakan pada tataran implementasi. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa budaya kekuasaan Sunda saat ini adalah pendulum kekuasaan vertikal.
Perubahan Budaya Kekuasaan: Pespektif Demokrasi
KOMITMEN reformasi serta semangat Indonesia baru, adalah momen yang tepat untuk mengkoreksi persepsi masyarakat Sunda dalam mengapresiasi budaya kekuasaan. Budaya kekuasaan yang bernuansa ramah, toleran, dan inklusif; seyogyanya segera dipertimbangkan kembali. Pandangan hidup orang Sunda terhadap kekuasaan, adalah bagian yang tidak terpsiahkan dengan pandangan hidup orang Sunda dalam mengejar lahir batin (Yus Rusyana, dkk, 1989).
Secara umum, pandangan hidup orang Sunda dalam mengejar lahir batin telah banyak bergeser dari pola lama. Hal ini banyak disebabkan oleh pengaruh dinamika kebudayaan, baik dari dalam maupun dari luar. Maka dalam konteks budaya kekuasaan, ruang perubahan paradigma politik masyarakat Sunda harus pula dibuka selebar-lebarnya.
Hampir sulit membayangkan hadirnya sebuah eksistensi tanpa keseriusan yang berarti dalam mengelola potensi politik yang dimiliki. Dalam konteks kekinian masyarakat Sunda, prasyarat untuk itu adalah mengubur stigma politik dalam wacana budaya masyarakat. Kemudian perlu dilakukan pula upaya memobilisasi partisipasi keklompok-kelompok kepentingan dalam satu irama kerja yang harmonis. Jelas membutuhkan waktu untuk proses, namun harus segara dimulai.
Secara generik, budaya Sunda memiliki karakteristik egalitarian sebelum terganggu dengan masuknya pengaruh budaya “mataraman” ke dalam struktur subkultur Priangan. Ini potensi yang besar untuk terjadinya mobilisasi horizontal, maupun menanamkan nilai-nilai demokratis. Fenomena ini di satu sisi, memberi angin segar untuk munculnya potensi partisipasi, namun di sisi lain akan menggugatperformance dan pola kekuasaan yang ada saat ini.
Dalam perspektif demokrasi, kekuasaan harus menjadi anak kandung dari partisipasi sosial, sekaligus harus menapakkan diri pada kecendrungan masyarakatnya. Dengan demikian, kekuasaan harus dilahirkan dan melahirkan, dinamika budaya masyarakatnya. Dalam arti yang lain budaya kekuasaan Sunda dalam perspektif demokrasi, harus menjadi pendulum vertikal sekaligus horizontal.
Sumber: Seminar “Sunda dan Budaya Kekuasaan”, Fordimasi IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 07 April 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar