BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengasuhan orang tua adalah pendidikan yang pertama dan utama. Dalam lingkungan keluarga merupakan proses interaksi antara anak dengan orang-orang disekitarnya terutama ibu, dan ayah. Terjadinya interaksi antara anak, dan orang tua dalam disebut juga dengan pola pengasuhan orang tua.
Dalam negara kita Indonesia, berbagai suku-suku , yang tentunya berbagai corak ragam sosial budaya berbeda pula. Keluarga sebagai unit terkecil dalam lingkungan suku-bangsa, termasuk suku bugis tidak lepas dari pengaruh positif dan negatif akibat dari pengaruh lingkungan sekitar di mana bertempat tinggal, akibat dari pengaruh budaya asing atau barat. Tentunya sadar atau tidak sadar berpengaruh terhadap keluarga dalam rangka mengasuh anak sebagai generasi penerus.
Menjadi permasalahan sekarang antara orang tua dan kalangan pendidik sekarang adalah budaya asing atau budaya barat begitu gampangnya masuk sebagai akibat kecanggihan tekhnologi komunikasi seperti: televisi,hand phone(HP), internet. Akibatnya film-film forno dan kekerasan, gambar-gambar vulgar, begitu cepat dan gampang tersaji dihadapan anak-anak kita, akhirnya budaya barat seperti pergaulan bebas, narkoba, hidup individualis, budaya komsumtif, dan lain-lain sebagainya dapat mempengaruhi kehidupan anak kelak, maka terlahirlah generasi yang tidak mempunyai jati diri bangsa, generasi yang kasar tak kenal sopan santun, tidak bisa menghargai sesama, pembangkang, berkata dan bertindak kasar, suka mementingkan diri sendiri, dan lain-lain sebagainya.
Agar tidak terjadi demikian, pola pengasuhan yang diberikan kepada anak seharusnya berakar dari budaya bangsa kita sendiri. Disinilah peran orang tua atau pendidik mmeberikan pola pengasuhan yang tepat sesuai akar budaya atau kultur bangsa Indonesia.
Suku bugis kaya akan budaya tersebut dalam rangka bagaimana mengasuh anaknya, Budaya pemmali adalah pola pengasuhan suku bugis yang selama ini dipegang teguh orang bugis untuk mengasuh anaknya.
Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini akan mengkaji bagaimana pola pengasuhan anak suku bugis dari aspek budaya Pemmali
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah adalah:
Pemmali sebagai bentuk pengasuhan anak suku bugis.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan pemmali sebagai bentuk pengasuhan anak suku bugis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pengasuhan Orang Tua
Dalam Kamus Bahasa Indonesi, edisi 2008 pengasuhan berasal dari kata Asuh, yang arinya mengasuh. Sedangkan pengasuhan berarti orang yang mengasuh (orang tua, wali). Dari pengertian Kamus Bahasa Indonesia tersebut pengasuhan adalah cara mengasuh yang dilakukan oleh orang tua, wali terhadap anak-anaknya.
Pengasuhan disini dapat diartikan suatu cara yang dilakukan oleh pengasuh(orang tua, wali, guru) kepada anak, siswa (oleh guru).Pengasuhan orang tua sebagai suatu mekanisme yang secara langsung membantu anak mencapai tujuan sosialisasi dan secara tidak langsung mempengaruhi internalisasi nilai-nilai sehingga anak lebih terbuka terhadap upaya sosialisasi melalui berbagai bentuk kompetensi interaksi sosial. (Syamsul Bachri Thalib., 2009)
Berdasar pada perbedaan individual dan orientasi budaya, Reis dan Wheeler (dalam Taylor et al.,1994) mempredeksi bahwa siswa-siswa yang berasal dari lingkungan individualistik seperti AS, kurang menunjukkan interaksi kelompok dibanding dengan siswa-siswa yang berasal dari keluarga kolektif seperti Hongkong, Jordan, dan Indonesia.
Budaya individualistik lebih menekankan lebih menekankan pada kebutuhan, tujuan atau keinginan pribadi dan individu, sedangkan budaya kolektif lebih menekankan tujuan kelompok dan keharmonisan, kohesi, dan kerjasama (Matsumoto, 1996 dalam Syamsul Bahri Thalib.,2009)
Berdasarkan uraian tentang pengertian pengasuhan, secara singkat dapat dikemukakan bahwa pengasuhan orang tua mengacu pada peran orang tua dalam upaya mempengaruhi, membimbing dan mengontrol anak dalam mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan prilaku anak menuju kedewasaan sehingga dapat memberikan konstribusi produktif terhadap diri sendiri, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. (Syamsul Bachri Thalib.,2009)
B. Pola Pengasuhan Suku Bugis
Menurut Ancok, 1996; Garbarino et al. 1997; Goodnow, 1997 pengasuhani terjadi dalam konteks yang lebih luas dari pada unit keluarga termasuk lingkungan geografis dan faktor sosial budaya seperti kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sehingga terdapat berbagai variasi bentuk transmisi dan internalisasi nilai-nilai.
Dari konteks pengertian yang di atas terjadinya pola pengasuhan anak bukan hanya terjadi dalam unit keluarga akan tetapi aspek geografis, lingkungan sosial budaya sangat berpengaruh pada pola pengasuhan anak.
Berdasar dari perbedaan individu dan orientasi budaya, Reis dan Whiler (dalam Taylor et al..,1994)
Salah satu aspek yang mempengaruhi pola pengasuhan anak adalah budaya berupa kebiasaan, adat-istiadat, yang dipelihara dan dijunjung tinggi oleh keluarga maupau suku tersebut. Yang melahirkan budaya pada kelompok-kelompok, suku-suku, atau bangsa.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia tahun 2008 kata budaya berarti pikiran; akal budi. Dari pengertian tersebut budaya dapat diartikan suatu hasil pikiran dan akal budi manusia dalam mengatur kehidupannya.
Budaya terdiri dari cara hidup orang menciptakan dalam suatu kelompok tertentu atau masyarakat. Cara hidup ini sangat kompleks. Mereka menjadi ada dan akan berubah sebagai orang berjuang atas apa yang penting dalam kehidupan mereka, bagaimana melakukan sesuatu, dan bagaimana memahami pengalaman mereka. Budaya bukanlah sesuatu yang dipaksakan oleh beberapa orang pada orang lain; lebih tepatnya, itu adalah ciptaan orang-orang berinteraksi dengan satu sama lain. Ini mencakup semua diciptakan secara sosial cara berpikir, merasa, dan bertindak yang muncul dalam kelompok-kelompok tertentu saat masyarakat mencoba untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan mereka, dan mencapai rasa signifikansi dalam proses.
Sebagaimana suku-suku yang ada di nusantara ini, suku bugis atau to Ugi adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi.
Suku Bugis adalah suku terbesar ketiga di Indonesia setelah suku Jawa dan Sunda. Berasal dari Sulawesi Selatan dan menyebar pula di propinsi-propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Irian Jaya Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan Riau Kepulauan, dan bahkan sampai ke Malaysia dan Brunei Darussalam.
Suku Bugis Jumlah populasi saat ini kurang lebih 4 juta jiwa. Yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Suku Bugis juga dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan.
Dalam suku bugis dikenal adanya Pangaderreng, pangaderreng adalah sistem norma dan aturan-aturan adat. Dalam keseharian suku bugis pangaderreng sudah menjadi kebiasaan dalam berinteraksi dengan orang lain yang harus dijunjung tinggi. Contoh pangaderreng dalam sehari-hari; seperti minta permisi untuk melewati arah orang lain, dengan kata-kata “tabe”kata tabe tersebut diikuti gerakan tangan kanan turun kebawah mengarah ketanah atau ketanah.makna dari perilaku orang bugis seperti demikian adalah bahwa kata tabe simbol dari upaya menghargai dan menghormati siapapun orang dihadapan kita, kita tidak boleh berbuat sekehendak hati berbuat. Dan makna berikut adalah bahwa tangan kanan yang mengarah kelantai atau ketanah sebagai simbol kerendahan hati dengan status apa yang dimiliki oleh seseorang. Yang kemudian makna lain dari contoh tersebut satunya kata dan perbuatan (Taro Ada Taro Gau), bahwa orang bugis dalam kehidupan sehari-hari harus berbuat sesuai dengan perkataan. Antara kata tabe dan gerakan tubuh(tangan kanan) harus seiring dan sejalan.sehingga suatu pemaknaan yang dalam orang bugis jauh lebih dalam lagi.
Dalam Pangaderreng ada konsep Siri”. siri dalam Kamus Bahasa Indonesia edisi tahun 2008 adalah keadaan tertimpa malu atau terhina dimasyarakat Bugis dan Makassar. Dalam konteks pengasuhan bagaimana orang bugis menegakkan budaya siri agar tidak tertimpa rasa malu dan terhina akibat dari perbuatannya.
Orang bugis memuliakan hal-hal yang menyangkut soal keagamaan, kesetiaan memegang janji dan persahabatan, saling memaafkan, saling mengingatkan untuk berbuat kebajikan, tak segan saling memberi pertolongan/pengorbanan, dan memelihara ketertiban adat perkawinan (Mattulada 1985).
Menurut A. Rahman Rahim memandang bahwa ”siri” merupakan salah satu dari enan nilai utama kebudayaan bugis, lima nilai utama kebudayaan bugis lainnya adalah: allempurang(kejujuran), amaccang(kecendekiaan),asitinajang(kepatutan), ggetengeng(keteguhan), serta reso(usaha). (H.M. Laica Marzuki. 1995)
Konsep “siri” dalam pengasuhan terungkap dalam paseng(petuah, nasehat, amanat yaitu roloi naptiroang, ritenggai naparaga-raga, rimunriwi napa ampiri (dari depan menjadi suri tauladan, ditengah aktif memberikan bantuan dan dari belakang aktif memberikan dukungan dan dorongan.
Menurut Abdullah(1997) nilai-nilai fundamental siri yang relevan dengan pengasuhan dan kepembimbingan di sekolah, mencakup semangat sipakatau, pesse, parakai sirimu, cappa lila, rupannamitaue dek naullei ripinra, sipatuo sipatokkong, sipamali ssiparapppe. Semangat Sipakatau bermakna saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Nilai budaya ini memancarkan penghargaan dan keserasian hubugan dengan hubungan dengan orang lain. Pesse bermakna kesetiakawanan terhadap manusia. Parakai sirimu merefleksikan perasaan tanggung jawab dan pengendalian diri. Siri berfungsi mengontrol diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Falsafah cappa lila (ujung lidah) bermakna keterampilan berkomunkasi dan berdialog dengan penuh keterbukaan dan tutur kata yang santun yang berimpliksi pada keharmonisan sosial. Rupamnamitaue’ dek naulle’ ripinra (hanya wajah manusia yang tidak bisa diubah) bermakna percaya diri dan sikap optimisme terhadap peluang terjadinya perubahan pada diri manusia ke arah yang lebih baik. Sipatuo sipatokkong , sipamali siparappe (saling mengembangkan dan saling menghidupkan)yang berimplikasi kepada saling membantu dan memahami orang lain. Pajjama (usaha dan kerja keras)mengandung makna kemandirian, sikap optomis dan dinamis menghadapi masa depan disertai ketekunan dan kerja keras. Getteng (ketegasan prinsip) mengandung makna kepercayaan diri, keberanian menanggung resiko dan adanya kesesuaian antara perkataan dan perbuatan.
Nilai malu dalam kandungan siri’ menurut Marzuki (1995) menggugah seseorang agar tidak melakukan pelanggaran Ade’ sementara nilai-nilai harga diri atau martabat menuntut seseorang untuk selalu patuh dan hormat pada kaidah-kaidah ade’ (hukum). Hal ini terungkap dalam petuah-petuah atau (pasen-pasen).
Dari konsep pangaderreng yang melahirkan budaya siri, suku bugis dalam kehidupan sehariannya dalam mengasuh anak-anak mereka melahirkan sebuah kebiasaan atau budaya dalam bertutur kata atau berbuat yang disebut Pemmali. Pemmali bentuk pengasuhan keluarga baik yang berdiam di Sulawesi Selatan maupun di perantauan yang masih dipegang erat dalam suku bugis dalam sehari-hari. Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "pemali" yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Masyarakat Bugis meyakini bahwa pelanggaran terhadap pemmali akan mengakibatkan ganjaran atau kutukan. Kepercayaan masyarakat Bugis terhadap pemmali selalu dipegang teguh. Fungsi utama pemmali adalah sebagai pegangan untuk membentuk pribadi luhur. Dalam hal ini pemmali memegang peranan sebagai media pendidikan budi pekerti.
Pemmali merupakan istilah dalam masyarakat Bugis yang digunakan untuk menyatakan larangan kepada seseorang yang berbuat dan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai. Pemmali dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "pemali" yang memiliki makna pantangan, larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Bentuk-bentuk Pemmali
Pemmali dalam masyarakat Bugis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemmali dalam bentuk perkataan dan pemmali dalam bentuk perbuatan.
1. Pemmali Bentuk Perkataan
Pemmali bentuk ini berupa tuturan atau ujaran. Biasanya berupa kata-kata yang dilarang atau pantang untuk diucapkan. Kata-kata yang pantang untuk diucapkan disebut kata tabu. Contoh kata tabu yang merupakan bagian pemmali berbentuk perkataan misalnya balawo â˜tikusâ, buaja â˜buayaâ, guttu â˜gunturâ. Kata-kata tabu seperti di atas jika diucapkan diyakini akan menghadirkan bencana atau kerugian. Misalnya, menyebut kata balawo (tikus) dipercaya masyarakat akan mengakibatkan gagal panen karena serangan hama tikus. Begitu pula menyebut kata buaja â˜buayaâ dapat mengakibatkan Sang Makhluk marah sehingga akan meminta korban manusia.
Untuk menghindari penggunaan kata-kata tabu dalam berkomunikasi, masyarakat Bugis menggunakan eufemisme sebagai padanan kata yang lebih halus. Misalnya, kata punna tanah â penguasa tanah â digunakan untuk menggantikan kata balawo, punna uwae â˜penguasa airâ digunakan untuk menggantikan kata buaja.
2. Pemmali Bentuk Perbuatan atau Tindakan
Pemmali bentuk perbuatan atau tindakan merupakan tingkah laku yang dilarang untuk dilakukan guna menghindari datangnya bahaya, karma, atau berkurangnya rezeki.
Beberapa contoh pemmali dan maknanya:
1) Riappemmalianggi anaâ daraE makkelong ri dapurennge narekko mannasui (Pantangan bagi seorang gadis menyanyi di dapur apabila sedang memasak atau menyiapkan makanan).
Masyarakat Bugis menjadikan pantangan menyanyi pada saat sedang memasak bagi seorang gadis. Akibat yang dapat ditimbulkan dari pelanggaran terhadap larangan ini adalah kemungkinan sang gadis akan mendapatkan jodoh yang sudah tua. Secara logika, tidak ada hubungan secara langsung antara menyanyi di dapur dengan jodoh seseorang. Memasak merupakan aktivitas manusia, sedangkan jodoh merupakan faktor nasib, takdir, dan kehendak Tuhan.Jika dimaknai lebih lanjut, pemmali di atas sebenarnya memiliki hubungan erat dengan masalah kesehatan. Menyanyi di dapur dapat mengakibatkan keluarnya ludah kemudian terpercik ke makanan. Dengan demikian perilaku menyanyi pada saat memasak dapat mendatangkan penyakit. Namun, ungkapan atau larangan yang bernilai bagi kesehatan ini tidak dilakukan secara langsung, melainkan diungkapkan dalam bentuk pemmali.
(2) Deq nawedding anaq daraE matinro lettu tengga esso nasabaq labewi dalleqna (Gadis tidak boleh tidur sampai tengah hari sebab rezeki akan berlalu).
Bangun tengah hari melambangkan sikap malas. Apabila dilakukan oleh gadis, hal ini dianggap sangat tidak baik. Jika seseorang terlambat bangun, maka pekerjaannya akan terbengkalai sehingga rezeki yang bisa diperoleh lewat begitu saja. Terlambat bangun bagi gadis juga dihubungkan dengan kemungkinan mendapatkan jodoh. Karena dianggap malas, lelaki bujangan tidak akan memilih gadis seperti ini menjadi istri. Jodoh ini merupakan salah satu rezeki yang melayang karena terlambat bangun.
Dari tinjauan kesehatan, bangun tengah hari dapat mengakibatkan kondisi fisik menjadi lemah. Kondisi yang lemah menyebabkan perempuan (gadis) tidak dapat beraktivitas menyelesaikan kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bugis menempatkan perempuan sebagai pemegang kunci dalam mengurus rumah tangga. Perempuan memiliki jangkauan tugas yang luas, misalnya mengurus kebutuhan suami dan anak.
(3) Riappemmalianggi matinro esso taue ri sese denapa natabbawa ujuna taumate engkae ri bali bolata
(Pantangan orang tidur siang jika jenazah yang ada di tetangga kita belum diberangkatkan ke kuburan).
Pemmali ini menggambarkan betapa tingginya penghargaan masyarakat Bugis terhadap sesamanya. Jika ada tetangga yang meninggal, masyarakat diharapkan ikut mengurus. Masyarakat biasanya berdatangan ke tempat jenazah disemayamkan untuk memberikan penghormatan terakhir dan sebagai ungkapan turut berduka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Masyarakat yang tidak dapat melayat jenazah karena memiliki halangan dilarang untuk tidur sebelum jenazah dikuburkan. Mereka dilarang tidur untuk menunjukkan perasaan berduka atau berempati dengan suasana duka yang dialami keluarga orang yang meninggal.
(4) Pemmali mattula bangi tauwe nasabaq macilakai (Pantangan bertopang dagu sebab akan sial).
Bertopang dagu menunjukkan sikap seseorang yang tidak melakukan sesuatu. Pekerjaannya hanya berpangku tangan. Perbuatan ini mencerminkan sikap malas. Tidak ada hasil yang bisa didapatkan karena tidak ada pekerjaan yang dilakukan. Orang yang demikian biasanya hidup menderita. Ia dianggap sial karena tidak mampu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hasil untuk memenuhi kebutuhannya. Ketidakmampuan tersebut mengakibatkan hidupnya menderita.
(5) Pemmali lewu moppang ananaE nasabaq magatti mate indoqna (Pemali anak-anak berbaring tengkurap sebab ibunya akan cepat meninggal).
Tidur tengkurap merupakan cara tidur yang tidak biasa. Cara tidur seperti ini dapat mengakibatkan ganguan terhadap kesehatan, misalnya sakit di dada atau sakit perut. Pemali ini berfungsi mendidik anak untuk menjadi orang memegang teguh etika, memahami sopan santun, dan menjaga budaya. Anak merupakan generasi yang harus dibina agar tumbuh sehingga ketika besar ia tidak memalukan keluarga.
(6) Pemmali kalloloe manrewi passampo nasabaq iyaro nasabaq ipancajiwi passampo siri (Pemali bagi remaja laki-laki menggunakan penutup sebagai alat makan sebab ia akan dijadikan penutup malu).
Laki-laki yang menggunakan penutup benda tertentu (penutup rantangan, panci, dan lainnya) sebagai alat makan akan menjadi penutup malu. Penutup malu maksudnya menikahi gadis yang hamil di luar nikah akibat perbuatan orang lain. Meski pun bukan dia yang menghamili, namun dia yang ditunjuk untuk mengawini atau bertanggung jawab. Inti pemali ini adalah memanfaatkan sesuatu sesuai fungsinya.
Menggunakan penutup (penutup benda tertentu) sebagai alat makan tidak sesuai dengan etika makan. Penutup bukan alat makan. Orang yang makan dengan penutup merupakan orang yang tidak menaati sopan santun dan etika makan. Akibat lain yang ditimbulkan jika menggunakan penutup sebagai alai makan adalah debu akan terbang masuk ke makanan. Akhirnya, makanan yang ada di wadah tertentu menjadi kotor karena tidak memiliki penutup. Hal ini sangat tidak baik bagi kesehatan karena dapat mendatangkan penyakit.
(7) Pemmali saleiwi inanre iyarega uwae pella iya puraE ipatala nasabaq mabisai nakenna abalaq (Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir. Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1 Pola pengasuhan anak yang diberikan oleh orang tua, pendidik, hendaknya berpola pada kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan lokal.
2 pangaderreng, adalah budaya suku bugis sebagai salah satu konsep dasarnya adalah siri’ sebagai wujud manusia bugis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kehormatan, persaudaraan, harkat dan martabat manusia.
3 Pemmali dalam masyarakat Bugis merupakan nilai budaya yang sarat dengan muatan pendidikan. Pemmali umumnya memiliki makna yang berisi anjuran untuk berbuat baik, baik perbuatan yang dilakukan terhadap sesama maupun perbuatan untuk kebaikan diri sendiri. Pemmali sangat kaya nilai luhur dalam pergaulan, etika, kepribadian, dan sopan santun. Melihat tujuannya yang begitu luhur, pemmali merupakan nilai budaya Bugis yang mutlak untuk terus dipertahankan.
B. SARAN
1 Pelestarian budaya lokal bukan hanya pemaknaaan membangun bangunan masa lalu, tetapi tak kalah pentingnya membangun budaya lokal yang penuh kearifan untuk kemaslahatan ummat manusia.
2 Budaya bugis pemmali hendaknya digali dan dikembangkan agar dapat lebih bermamfaat untuk pengembangan pengasuhan anak, khususnya pada suku bugis, umumnya Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Bahasa Indonesia .edisi 2008
Syamsul Bahri Thalib (2009) .Psikologi Perilaku Kekerasan Berbasisi Analis Model Persamaan Struktur.
Suriana. Makna Pemmali dalam Masyarakat Bugis Soppeng.
Sulo, Hartati. Makna Pemmali dalam Masyarakat Petani di Kabupaten Soppeng.
Laica Marzuki(1995). Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar
http://www.angingmammiri.org/
www.nusantara-online.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar