Minggu, 13 Oktober 2013

Observasi WTS (wanita tuna susila)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Masalah prostitusi di Indonesia saat ini merupakan isu yang selalu menjadi sorotan tajam masyarakat. Praktik prostitusi  membawa dampak yng merugikan orang banyak yang merugikan orang banyak dengan penularan penyakit seksual termasuk HIV/AIDS dan tumbuhnya tindak kekerasan, walaupun dilain pihak ada kelompok orang yang diuntungkan dengan tindak prostitusi tersebut. Laporan CAWT (Coalition Against Woman Trafficking) dalam trafficking in woman and prostitution in Asia Pacific 1998, menyebutkan bahwa tujuan perdagangan perempuan untuk kepentingan industri prostitusi, meskipun dalam perekrutan sering disamarkan lewat iming-iming pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pelayanan restoran, karaoke dan salon. Ratusan Tenaga kerja Wanita Indonesia (TKWI) terjun dalam prostitusi di Taiwan, Malaysia, Singapura,  Australia, Brunei Darussalam, Korea Selatan, dan Jepang  (anonym, 2001). Pada tahun 2000 menurut catatan Kepolisian RI, telah terungkap 1400 kasus pengirimn perempuan secara  illegal dari Indonesia keluar negeri (Harian Kompas, 9 Oktober 2001: 10).
Kegiatan prostitusi apabila sudah terjadi disuatu tempat, maka akan sulit dihilangkan, meskipun keberadaan kegiatan prostitusi pada masyarakat Indonesia tidak dapat ditolerir karena bertentangan dengan norma-norma kehidupan masyarakat terutama norma agama yang sudah melembaga. Di Kota Bandung, kegiatan prostitusi antara lain terkonsentrasi di daerah Dewi Sartika, Pungkur, Tegallega, Alun-alun, dan Braga yang di perkirakan berjumlah 188 orang, sedangkan dirumah bordir berjumlah 227 orang, di hotel-hotel sebanyak 20 orang, warung remang-remang sebanyak 9 orang, lain-lain sebanyak 73 orang.
Visi kota Bandung sebagai kota jasa dan wisata memberi dampak pada maraknya industri hiburan yang identik dengan prostitusi. Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Bandung tahun 2004, pelaku prostitusi berjumlah 507 orang yang bagi dalam kelompok usia antara 19 - 29 tahun sebanyak 49 orang dan usia 30 - 40 tahun sebanyak 458 orang. Terobosan yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung dalam penanganan masalah prostitusi diantaranya dengan pembangunan masjid dan pondok pesantren seperti halnya yang dilakukan di daerah Saritem yang dipandang masyarakat sebagai lokalisasi prostitusi.
Penanganan masalah prostitusi merupakan salah satu orientasi pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan social sebagai usaha yang terancang dan terarah dengan berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial dan memperkuat institusi-institusi sosial. Ciri utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah holistik-komprehensif dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan sebagai manusia, baik sebagai individu maupun kolektivitas yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosio-kulturalnya. Berkaitan dengan permasalahan prostitusi di Kota Bandung, maka kami melakukan observasi pada pekerja seks komersil atau sering disebut Wanita Tuna Susila di seputaran Alun-alun Kota Bandung.
B.    Permasalahan Penelitian
        Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis merumuskan problem Quetion sebagai berikut  “Bagaimanakah Kondisi WTS ( Wanita Tuna Susila ) serta Pemahaman Tentang Penyakit HIV/AIDS di Seputaran Alun-alun Kota Bandung, Jawa Barat.”
  Agar dalam Observasi ini tidak terjadi  pemahaman yang melebar, maka penulis memfokuskan permasalahan penelitian ini dengan sub-sub problematik sebagai berikut :
1.    Bagaimana karakteristik WTS ?
2.    Bagaimana latar belakang dan masalah yang dihadapi ketika bekerja sebagai PSK ?
3.    Bagaimana pemahan tentang pondemik, trasmisi dan rawatan HIV/AIDS ?
4.    Keperluan dalam menangani HIV/AIDS ?
5.    Implikasi psiko-sosial responden jika pendidikan HIV/AIDS tidak di berikan?

C.    Tujuan Observasi
Tujuan dari Observasi ini adalah untuk menggali dan mengetahui pemahaman serta bahaya penyakit HIV/AIDS bagi WTS ( Wanita Tuna Susila ).   




D.    Tinjauan Pustaka
1.    Tinjauan tentang pelacuran
Menurut Kartini Kartono ( 1992 : 207), mendefinisikan pelacuran sebagai berikut :
“Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks, yang impersonal tanpa afeksi sifatnya”.
Sementara pengertian mengenai eksploitasi seks, oleh Kartini Kartono (1992 : 208) dijelaskan sebagai berikut :
“Eksploitasi seks berarti penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin  oleh pihak pria. Sedangkan komersialisasi seks berarti perdagangan seks, dalam bentuk penukaran  kenikmatan seksual dengan benda-benda materi dan uang.”

BAB II
PEMBAHASAN
A.    FAKTOR PENYEBAB PROSTITUSI
Sebelum kita membahas hasil observasi, perlu kita tinjau dahulu factor – factor penyebab prostitusi. Praktek prostitusi atau Pornografi dan Pornoaksi merupakan fenomena penghancuran nilai moral yang dijalankan secara terorganisir. Nilai – nilai agama yang diharapkan menjadi benteng terakhir dalam mengantisipasi fenomena ini, malah tidak ada artinya lagi.
Berikut ini identifikasi masalah dengan mengungkapkan berbagai faktor penyebab internal dan eksternal dari masalah Prostitusi yang terjadi
1.    Faktor Internal
a.    Frustrasi
Frustrasi merupakan pencapaian tujuan yang terhambat. Orang akan mengembangkan mekanisme petahanan diri untuk mengatasi frustrasi yang dialamnya. Salah satu mekanisme adalah rasionalisasi, yaitu suatu kondisi dimana seseorang menciptakan alasan  untuk membenarkan perilakunya. Contoh alasan yang sering dikemukakan seseorang sampai menjadi Wanita Tuna Susila (WTS) antara lain kegagalannya dalam membina rumah tangga. Mereka merasa impiannya untuk menciptakan keluarga yang harmonis tidak terwujud, dan sebagai bentuk pelariannya mereka menjual diri untuk mendapatkan kepuasan.
b.    Kelainan Seksual
Suatu kondisi kejiwaan seseorang terkait dengan seksualitas seperti hypersex yaitu orang yang tidak pernah puas dalam melakukan hubungan intim diukur dari intensitas hubungan. Kondisi kejiwaan ini menyebabkan dia memiliki keinginan berlebihan diluar kemampuan orang pada umumnya dalam berhubungan intim, sehingga harus mencari orang diluar untuk memenuhi kebutuhannya.
c.    Dekadensi Moral
Modernisasi dan informasi yang berkembang pesat pada satu sisi menyebabkan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat. Pada sisi lain, perubahan nilai dan norma, relative mengalami penurunan, dari sesuatu yang dianggap tabu atau tidak layak dipublikasikan menjadi sesuatu yang biasa.

d.    Latar belakang pendidikan yang rendah
Rendahnya tingkat pendidikan berimplikasi pada keterbatasan ruang untuk mencari nafkah. Masalah ketidak mampuan  ini dipecahkan dengan mencari sumber penghidupan yang tidak mengenal status pendidikan dan social yaitu dengan “menjual diri” yang dianggap tidak merugikan  lain.
e.    Pengendalian diri yang kurang
Setiap manusia memiliki kemampuan fisik, kognitif (berpikir) dan mental untuk mengendalikan diri maupun lingkungannnya dalam mencapai tujuan hidupnya. Ketidak mampuan orang dalam mengndalikan diri menyebabkan orang cenderung mengambil sikap mencari jalan pintas unuk mencapai tujuan tanpa mempertimbangkan resiko.
f.    Potensi Fisik
Kecantikan dan kemolekan tubuh kadang dapat menjadi modal dan pendorong wanita dengan pengendalian diri yang rendah untuk memanfaatkannya menjadi pelacur.
g.    Orientasi Materialisme
Modernisasi membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, sehingga orang-orang yang dibutuhkan dan mampu untuk eksis adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi disertai dengan kualitas keterampilan dan pengetahuan yang memadai. Kondisi ini menyebabkan orang yang tidak memiliki pendidikan, keterampilan dan pengetahuan yang tinggi akan tersingkir, sehingga cara yang mereka tempuh untuk mempertahankan hidup melalui bisnis prostitusi.

2.    Faktor Eksternal
a.    Konflik Keluarga (Perceraian)
Terjadinya perceraian dapat menjadi pendorong seseorang  melakukan prostitusi, karena tuntutan kebutuhan hidup dan kebutuhan seksual.
b.    Sumber pendapatan keluarga/tuntutan ekonomi
Tuntutan ekonomi keluarga menjadi alasan orang melakukan kegiatan prostitusi. Hamper  seluruh WTS mengirimkan uang kepada orang tua dan keluarganya. Karena keuntungan dapat dirasakan keluarga, maka prostitusi tetap berlangsung

c.    Kontrol masyarakat rendah
Praktik pornoaksi-pornografi akan tetap ada dan berkembang bila control masyakat rendah, karena orang menjalani pornoaksi-pornografi tidak merasa ada tekanan dari masyarakat, sehingga dapat dengan melakukan tindakan prostitusi.
d.    Industrialisasi/modernisasi
Industrilisasi mendorong timbulnya budaya pornoaksi-pornografi.
e.    Migrasi
Motif ekonomi (uang) menarik banyak peempuan dari pedesaan untuk menjadi pelaku pornoaksi-pornografi diperkotaan.
f.    Perubahan nilai-nilai (moral) masyarakat
Rasionalisasi yang terbentuk dalam masyarakat tertentu terhadap pornoaksi-pornografi bahwa pornoaksi-pornografi secara signifikan merubah pola nilai dan norma masyarakat, sehingga kondisi tersebut cenderung dipelihara.
g.    Perubahan nilai-nilai tentang pernikahan
Lembaga perkawinan sebagai ikatan kesetiaan yang sah antara laki-laki dan perempuan dalam kurun waktu telah mengalami penurunan nilai, seperti perselingkuhan.
h.    Lingkungan sosial yang tidak sehat
Lingkungan tempat tinggal sangat berpengaruh, baik secara positif dan negative terhadap individu yang bermukim. Apabila lingkungan tempat tinggal kurang sehat, maka secara psikis mempengaruhi perilaku dan pola piker masyarakat, terutama anak-anak.
i.    Korban penyalahgunaan sekssual, baik didalam maupun diluar keluarga.
Korban penyalahgunaan seksual seringkali memilih praktek pornoaksi-pornografi sebagai perilaku lanjutannya (termasuk kekerasan seksual).
j.    Modelling
Pelaku postitusi menjadi model yang signifikan bagi orang disekitarnya. Meskipun mereka tidak lagi berprofesi sebagai pelaku pornoaksi-pornografi, namun karena mereka telah sukses, maka ex pelaku prostitusi ini kemudian menjadi agen bagi pelaku prostitusi yang baru.
k.    Akulturasi yang di dominasi budaya barat
Masuknya budaya barat yng menjunjung tinggi kebebasan menjadi pemicu maraknya pornoaksi-pornografi dikalangan masyarakat modernis.

l.    Ekspresi seni
Adanya anggapan bahwa pornoaksi-pornografi merupakan suatu kemerdekaan dalam mengekspresikan bentuk lain dari seni. Adanya pose-pose bugil, tarian erotis, atau peran-peran dalam film yang didominasi peran eksploitasi seksual, dianggap sebagai kebebasan untuk berekspresi.
Wanita Tuna Susila adalah seseorang yang mempunyai mata pencaharian dengan cara memberikan pelayanan seksual di luar perkawinan kepada siapa saja dari jenis kelamin berbeda yang tujuannya adalah untuk mendapatkan imbalan berupa uang.
Para WTS umumnya bekerja di tempat pelacuran yang terorganisir maupun yang tidak terorganisir. Berikut ini tempat pelacuran berdasarkan jenisnya.
Pelacuran yang terorganisir :
•    WTS berada di bawah pengawasan langsung mediatornya seperti germo, mucikari, mami.
•    Termasuk di dalamnya: lokalisasi WTS, panti pijat plus dan tempat-tempat yang mengusahakan wanita panggilan.
•    Aktivitasnya tergantung pada mucikari, penjaga keamanan atau agen lainnya yang membantu mereka untuk berhubungan dengan calon pelanggan serta melindungi dalam kondisi bahaya.
•    Berbagi hasil dengan mediator.

Pelacuran yang tidak terorganisir :
•    WTS mencari pelanggannya sendiri tanpa melalui mediator. Langsung transaksi dengan pelanggan.
•    Termasuk di dalamnya: perempuan jalanan, perempuan lainnya yang beroperasi secara gelap di tempat umum, wanita panggilan yang bekerja mandiri, ayam kampus, wanita simpanan.
•    Tempat: mal, diskotik, pub, café, dsb
•    Posisinya lemah saat menghadapi pelecehan baik dari pelanggan atau perazia
•    Tidak perlu berbagi hasil dengan mediator

B.    PRO DAN KONTRA PENANGANAN PROSTITUSI
Dari pengalaman empiris dapat diketahui berbagai masalah yang timbul dengan adanya prostitusi adalah :
1.    Adanya pertentangan masyarakat yang data memicu kerusuhan dengna adanya aksi-aksi pembakaran tepat-tempat kegitan tindak tuna susila. Hal ini terjadi karena di satu pihak masyarakat tidak mentolerir kegiatan prostitusi karena dianggap maksimal
2.    Adanya pemerasan bahkan pembunuhan terhadap PSK oleh pelanggraannya.
3.    Kegiatan prostitusi rawan penularan penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS.
4.    Kegiatan Prostitusi yang berbaur dengan permukiman mempunyai dampak negative terhadap generasi muda sebagai penerus bangsa karena dapat mempengaruhi sikap dan  perilaku mereka melalui proses sosialisasi dan enkulturasi dari lingkungannya.

Penanganan masalah prostitusi merupakan dilema antara pelembagaan norma social dan norma agama dengan kebutuhan hidup sehari-hari para PSK serta oknum pebisnis seksual yang ingin mencari keuntugan.  Kritik dari komunitas terhadap penanganan prostitusi yang dilaksanakan disuatu lokalisasi tertentu dianggap sebagai legalisasi kegiatan prostitusi. Di lain pihak, penanganan PSK melalui system rehablitasi social, mental, kesehatan dan keterampilan yang dilaksanakan dipanti, dikonotasikan sebagai penjara, karena ketidak mampuan untuk mengikuti peraturan panti dan tidak dapat mencari nafkah selama mengikuti program rehabilitasi social.
Berbagai aksi protes oleh komunitas yang tidak menghendaki adanya kegiatan prostitusi baik kepada para PSK maupun kepada pihak-pihak terkait dengan urusan penertiban prostitusi.
Sebagai jawaban terhadap aksi protes masyarakat terhadap lokalisasi prostitusi,maka dibeberapa daerah provinsi lokalisasi tersebut ditutup secara resmi yang dikukuhkan melalui surat keputusan pemerintah daerah setempat. Namun demikian upaya tersebut juga mendapat tantangan  dari berbagai pihak antara lain dari kelompok pembelaan perempuan yang terwujud dalam suatu yayasan/organisasi, yang mengklaim bahwa :
1.    Ada atau tidak lokalisasi, masalah pelacuran tidak akan terhapus.
2.    Dengan pembubaran lokalisasi membuat perempuan semakin terpuruk dan menyulitkan pemberdayaan para PSK yang mengklaim dirinya tidak ada penghasilan.
3.    Tidak realitas bilamana penutupan lokalisasi tidak menyelesaikan permasalahan
4.    Masalah lokalisasi, masih banyak pandangan masyarakat dari segi moralitas, oleh karena itu  harus diadakan perubahan pandangan sebagai suatu proses yang berat yang harus dipahami.
5.    Penanggulangan merupakan bentuk-bentuk bersama dengan “para  pekerja seks” yang dalam hal ini ada dua hal penting yang perlu dilakukan secara bersama-sama. Pertama dalam hal pemberdayaan mereka yang tidak hanya ekonomi, tetapi aspek lainya.yang kedua agar ada pendidikan terhadap masyarakat agar tidak mempertajam masalah pelacuran.
6.    Bagaimana system lokalisasi  adalah suatu pilihan yang baik bukan hanya pengendalian penyebaran penyakit menular sesual (PMS), akan timbul banyak perkosaan, tetapi hal lainya seperti banyak orang kehilangan usaha ekonomi disekitar lokalisasi
7.    Pertumbuhan pelacuran anak-anak menjadi semakin besar.
8.    Belum ada ke jelasan dari pemerintah tentang masalah pelacuran selama ada undang-undang pelacuran.
9.    Perlu pemahaman data tentang penyebaran PMS. (Nina.K, 2001,hlm.32)

C.    Apa itu HIV/AIDS?

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
D.    Gejala-gejala utama AIDS.
Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV memengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma Kaposi, kanker leher rahim, dan kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
E.    Penularan HIV

1.    Penularan seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
2.    Kontaminasi patogen melalui darah

Bahaya AIDS sehubungan dengan pemakaian narkoba. Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi".
3.    Penularan masa perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya). Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
F.    Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.
G.    Sistem tahapan infeksi WHO
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat.

•    Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
•    Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang
•    Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
•    Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
H.    Sistem klasifikasi CDC
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per µL darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per µL darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.
I.    Tes HIV
Banyak orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi virus HIV. Kurang dari 1% penduduk perkotaan di Afrika yang aktif secara seksual telah menjalani tes HIV, dan persentasenya bahkan lebih sedikit lagi di pedesaan. Selain itu, hanya 0,5% wanita mengandung di perkotaan yang mendatangi fasilitas kesehatan umum memperoleh bimbingan tentang AIDS, menjalani pemeriksaan, atau menerima hasil tes mereka. Angka ini bahkan lebih kecil lagi di fasilitas kesehatan umum pedesaan. Dengan demikian, darah dari para pendonor dan produk darah yang digunakan untuk pengobatan dan penelitian medis, harus selalu diperiksa kontaminasi HIV-nya.
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi pelawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. Terdapat pula tes-tes komersial untuk mendeteksi antigen HIV lainnya, HIV-RNA, dan HIV-DNA, yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi HIV meskipun perkembangan antibodinya belum dapat terdeteksi. Meskipun metode-metode tersebut tidak disetujui secara khusus untuk diagnosis infeksi HIV, tetapi telah digunakan secara rutin di negara-negara maju.
J.    Pencegahan
Perkiraan risiko masuknya HIV per aksi,
menurut rute paparan
Rute paparan    Perkiraan infeksi
per 10.000 paparan
dengan sumber yang terinfeksi
Transfusi darah    9.000
Persalinan    2.500
Penggunaan jarum suntik bersama-sama    67
Hubungan seks anal reseptif*    50
Jarum pada kulit    30
Hubungan seksual reseptif*    10
Hubungan seks anal insertif*    6,5
Hubungan seksual insertif*    5
Seks oral reseptif*    1
Seks oral insertif*    0,5
* tanpa penggunaan kondom
§ sumber merujuk kepada seks oral
yang dilakukan kepada laki-laki
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan.
a.    Hubungan seksual
Mayoritas infeksi HIV berasal dari hubungan seksual tanpa pelindung antarindividu yang salah satunya terkena HIV. Hubungan heteroseksual adalah modus utama infeksi HIV di dunia. Selama hubungan seksual, hanya kondom pria atau kondom wanita yang dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi HIV dan penyakit seksual lainnya serta kemungkinan hamil. Bukti terbaik saat ini menunjukan bahwa penggunaan kondom yang lazim mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80% dalam jangka panjang, walaupun manfaat ini lebih besar jika kondom digunakan dengan benar dalam setiap kesempatan. Kondom laki-laki berbahan lateks, jika digunakan dengan benar tanpa pelumas berbahan dasar minyak, adalah satu-satunya teknologi yang paling efektif saat ini untuk mengurangi transmisi HIV secara seksual dan penyakit menular seksual lainnya. Pihak produsen kondom menganjurkan bahwa pelumas berbahan minyak seperti vaselin, mentega, dan lemak babi tidak digunakan dengan kondom lateks karena bahan-bahan tersebut dapat melarutkan lateks dan membuat kondom berlubang. Jika diperlukan, pihak produsen menyarankan menggunakan pelumas berbahan dasar air. Pelumas berbahan dasar minyak digunakan dengan kondom poliuretan.
Kondom wanita adalah alternatif selain kondom laki-laki dan terbuat dari poliuretan, yang memungkinkannya untuk digunakan dengan pelumas berbahan dasar minyak. Kondom wanita lebih besar daripada kondom laki-laki dan memiliki sebuah ujung terbuka keras berbentuk cincin, dan didesain untuk dimasukkan ke dalam vagina. Kondom wanita memiliki cincin bagian dalam yang membuat kondom tetap di dalam vagina — untuk memasukkan kondom wanita, cincin ini harus ditekan. Kendalanya ialah bahwa kini kondom wanita masih jarang tersedia dan harganya tidak terjangkau untuk sejumlah besar wanita. Penelitian awal menunjukkan bahwa dengan tersedianya kondom wanita, hubungan seksual dengan pelindung secara keseluruhan meningkat relatif terhadap hubungan seksual tanpa pelindung sehingga kondom wanita merupakan strategi pencegahan HIV yang penting.
Penelitian terhadap pasangan yang salah satunya terinfeksi menunjukkan bahwa dengan penggunaan kondom yang konsisten, laju infeksi HIV terhadap pasangan yang belum terinfeksi adalah di bawah 1% per tahun. Strategi pencegahan telah dikenal dengan baik di negara-negara maju. Namun, penelitian atas perilaku dan epidemiologis di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan keberadaan kelompok minoritas anak muda yang tetap melakukan kegiatan berisiko tinggi meskipun telah mengetahui tentang HIV/AIDS, sehingga mengabaikan risiko yang mereka hadapi atas infeksi HIV. Namun demikian, transmisi HIV antarpengguna narkoba telah menurun, dan transmisi HIV oleh transfusi darah menjadi cukup langka di negara-negara maju.
Pada bulan Desember tahun 2006, penelitian yang menggunakan uji acak terkendali mengkonfirmasi bahwa sunat laki-laki menurunkan risiko infeksi HIV pada pria heteroseksual Afrika sampai sekitar 50%. Diharapkan pendekatan ini akan digalakkan di banyak negara yang terinfeksi HIV paling parah, walaupun penerapannya akan berhadapan dengan sejumlah isu sehubungan masalah kepraktisan, budaya, dan perilaku masyarakat. Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa persepsi kurangnya kerentanan HIV pada laki-laki bersunat, dapat meningkatkan perilaku seksual berisiko sehingga mengurangi dampak dari usaha pencegahan ini.
b.    Penularan dari ibu ke anak
Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-to-child transmission, MTCT). Jika pemberian makanan pengganti dapat diterima, dapat dikerjakan dengan mudah, terjangkau, berkelanjutan, dan aman, ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin. Pada tahun 2005, sekitar 700.000 anak di bawah umur 15 tahun terkena HIV, terutama melalui penularan ibu ke anak; 630.000 infeksi di antaranya terjadi di Afrika. Dari semua anak yang diduga kini hidup dengan HIV, 2 juta anak (hampir 90%) tinggal di Afrika Sub Sahara.
K.    Penanganan
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.
a.    Terapi antivirus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat (disebut "koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam (atau "kelas") bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART.Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin . Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofi, dislipidaemia, penolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan.
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut.
b.    Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin.
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut.
c.    Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit.Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri; namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius.
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian selenium dengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas.
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alteratif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya.
Namun oleh penelitian yang mengungkapkan adanya simtoma hipotiroksinemia pada penderita AIDS yang terjangkit virus HIV-1, beberapa pakar menyarankan terapi dengan asupan hormon tiroksin.Hormon tiroksin dikenal dapat meningkatkan laju metabolisme basal sel eukariota dan memperbaiki gradien pH pada mitokondria.
L.    Sejarah
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk kedalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerun selatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea Bissau, Gabon, dan Kamerun.
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an di Kongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada.
M.    Sosial dan budaya
Hukuman sosial atau stigma oleh masyarakat di berbagai belahan dunia terhadap pengidap AIDS terdapat dalam berbagai cara, antara lain tindakan-tindakan pengasingan, penolakan, diskriminasi, dan penghindaran atas orang yang diduga terinfeksi HIV; diwajibkannya uji coba HIV tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu atau perlindungan kerahasiaannya; dan penerapan karantina terhadap orang-orang yang terinfeksi HIV. Kekerasan atau ketakutan atas kekerasan, telah mencegah banyak orang untuk melakukan tes HIV, memeriksa bagaimana hasil tes mereka, atau berusaha untuk memperoleh perawatan; sehingga mungkin mengubah suatu sakit kronis yang dapat dikendalikan menjadi "hukuman mati" dan menjadikan meluasnya penyebaran HIV.
Stigma AIDS lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
•    Stigma instrumental AIDS - yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.
•    Stigma simbolis AIDS - yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.
•    Stigma kesopanan AIDS - yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan isu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Stigma AIDS sering diekspresikan dalam satu atau lebih stigma, terutama yang berhubungan dengan homoseksualitas, biseksualitas, pelacuran, dan penggunaan narkoba melalui suntikan.
Di banyak negara maju, terdapat penghubungan antara AIDS dengan homoseksualitas atau biseksualitas, yang berkorelasi dengan tingkat prasangka seksual yang lebih tinggi, misalnya sikap-sikap anti homoseksual. Demikian pula terdapat anggapan adanya hubungan antara AIDS dengan hubungan seksual antar laki-laki, termasuk bila hubungan terjadi antara pasangan yang belum terinfeksi.
N.    Dampak ekonomi
HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human capital). Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.
Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan mengurangi produktivitas. Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.
Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian di Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.
O.    Gaya Hidup Positif
Tidak ada pengobatan untuk HIV atau AIDS akan tetapi hidup berdampingan dengan kedua penyakit tersebut menjadi semakin dapat diatur. Sangatlah mungkin bagi pengidap HIV/AIDS dalam menjalani suatu hidup yang produktif dengan mengikuti suatu diet tinggi akan protein dan kilojoule yang sehat, mengatur tingkat–tingkat stress, mempraktekan seks yang aman dengan mengunakan kondom, tidak minum air yang belum dimasak, moderasi dalam mengkonsumsi alkohol dan merokok, mencuci tangan, memastikan kesejahteraan spiritual dan emosional serta memperhatikan infeksi oportunistik sedini mungkin. Orang yang memiliki hewan piaraan harus mengikuti tindakan pencegahan yang normal dengan menjamin bahwa makanan,
kotoran dan tempat tidur mereka selalu segar dan memenuhi norma kesehatan sepanjang waktu. Perawatan harus dilakukan untuk menghindari pukulan, goresan dan gigitan serta binatang tersebut.






BAB III
HASIL OBSERVASI DI SEPUTARAN ALUN-ALUN KOTA BANDUNG

Dalam kasus prostitusi yang terjadi di Kota Bandung, ada sebagian kecil kasus yang di ambil dari hasil observasi di lapangan. Di dalam kasus ini peranan – peranan yang berada di sekitar lingkungan kita bisa menjadi akar dalam kasus prostitusi di Kota Bandung. Peranan – peranan tersebut mencangkup peran keluarga atau orang tua, peran teman, peran pacar, peran calo dalam prostitusi, dan peran germo. Dari macam – macam peran tersebut saya membahas tentang peran pacar dan peran orangtua atau keluarga karena sesuai dengan hasil obervasi saya di lapangan.
Peran keluarga atau orangtua, dalam terlibatnya salah satu anggota keluarga mereka bukan hanya karena kemauan maupun kesadaran sendiri. Orang tua juga memiliki andil terhadap keterlibatan atau mengakibatkan bisa terlibat dalam dunia prostitusi. Peran orang tua dalam mendukung seorang dari mereka terlibat dalam pelacuran, dapat dilihat ketika mulanya keberadaannya tidak diketahui orangtuanya. Namun setelah anggota keluarga tau atau orangtua, justru bukan langsung melarangnya akan tetapi  malah menggantungkan hidupnya di dalam pelacuran untuk menghidupi keluarganya.
Kondisi demikian menyebabkan timbulnya perasaan beban tanggung jawab kepada keluarga bagi anak yang dilacurkan. Ketika pulang ke rumah orang tuanya muncul semacam tuntutan dan kewajiban untuk memberikan oleh-oleh atau uang kepada orangtuanya.Peran pacar dalam proses pasangannya menjadi masuk ke dalam dunia pelacuran di lapangan ditemukan dengan penipuan.
•    Responden    :  Hesti ( Nama Inisial )
A.     Karakteristik Responden
•    Responden berumur 28 tahun, memiliki berat badan 50 kg dan tinggi 150 cm, berambut hitam lurus dengan panjang rambut sampai punggung, berwarna kulit sawo matang, cantik dan berhidung mancung. Hesty sudah pernah berkahwin namun ia cerai dengan suaminya dan berstatus janda memiliki satu orang anak hasil hubungan di luar perkahwinan dengan pacarnya yang sudah menjadi suaminya setelah disetubuhi lalu ia hamil dan menikah dengan pacarnya tersebut, dari hasil perkawinannya dia mempunyai dua orang anak yang berumur 3 tahun dan 2 tahun. 
•    Hesty awalnya mempunyai pekerjaan di salah satu toko di daerah kopo. Pendapatannya saat berkerja tidak menentu. Lalu setelah itu dia cerai dengan suaminya dan dipecat dari pekerjaannya karena masalah dengan suaminya dia tak pernah masuk kerja. Kemudian Hesty (nama samaran) merasa sudah tidak berharga lagi maka ia melacurkan diri setelah cerai dari suaminya dan ditinggal pergi.
B.    Latar Belakang dan Masalah yang Dihadapi Ketika Bekerja Sebagai PSK
Responden bekerja sebagai PSK kerana keadaan ekonomi dan harus membiayai anaknya. Selain itu juga, responden merasa sudah tidak mempunyai harga diri lagi maka ia melacurkan diri setelah cerai dari suaminya dan ditinggal pergi. Responden turun kedunia pelacuran juga dikarenakan oleh kekecewaannya kepada sang suami  yang diharapkan dapat membantu perekonomian keluarganya justru meninggalkannya beserta anaknya.
Responden beranggapan bahawa dengan menjadi PSK, ia dapat memperolehi penghasilan yang mencukupi keperluannya. Responden mendapatkan wang setiap semalam bisa menerima 3 tamu, setiap tamu tarifnya bisa sekitar Rp. 150.000 sampai Rp. 250.000 permalam. Jadi ia bisa menghasilkan uang sekitar Rp. 900.000/hari. Wilayah yang sering hesty (nama samaran) pakai untuk mencari tamu tidak menetap, dia berpindah-pindah tempat untuk mencari atau menunggu tamu dan juga menghindari razia, misalnya di daerah Alun-alun, Jln. ABC, dan wilayah Pasar Baru dan sekitarnya.
Responden sentiasa dihantui oleh perasaan dosa. Dia juga seringkali teringat kepada anak-anaknya dan takut apabila dewasa nanti, anaknya akan mendapati akibat dari perbuatan ibunya. Seringkali muncul keinginan dalam diri responden untuk berhenti sebagai PSK namun perasaan itu hilang semula, apabila sedar tidak mungkin ia akan memperolehi kerja lain dengan penghasilan yang besar seperti sekarang ini. Responden merasa tidak mempunyai masalah dalam menjalankan aktiviti memberi khidmat seks.



C.    Pemahaman Responden tentang Pandemik, Transmisi dan Rawatan HIV/AIDS
Responden memahami pekerjaannya sebagai PSK sangat berisiko tinggi dijangkiti HIV/AIDS. Responden mengetahui bahawa HIV/AIDS akan dijangkiti melalui hubungan seks. namun setiap melayani pelanggannya, pelanggannya tidak menggunakan kondom dikarenakan pelanggannya tidak mau menggunakannya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:
“Saya tau kalau pekerjaan saya sangat rentang terinfeksi penyakit Hiv apalagi dengan cara saya melayanin lelaki 3 orang dalam semalam namun ketika melayani mereka, saya kadang meminta mereka untuk menggenakan kondom namun mereka tidak mau, saya juga merasa takut dan hawatir akan tertular penyakit yang berbahaya itu”.

Responden menilai bahawa penyakit HIV/AIDS berbahaya karena sukar disembuhkan dan belum ada obatnya. Seseorang yang telah dijangkiti virus HIV hanya boleh memperpanjang jangka hayat dengan mengkonsumsi obat secara berterusan, manakala virus HIV masih wujud didalam badannya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:
“Saya sering mendengar bahawa HIV atau AIDS merupakan penyakit berbahaya dan mematikan serta belum ada obatnya. tetapi saya tak tahu seperti apa proses jangkitannya dan rawatannya sehingga saya tidak  tahu cara untuk mencegahnya.”

D.    Keperluan Responden dalam Menangani HIV/AIDS
Responden mengungkapkan bahawa ia memerlukan pengetahuan dan penyuluhan yang benar  tentang HIV/AIDS sama ada jangkitan mahupun rawatan. Responden mengungkapkan hal tersebut seperti berikut:
Saya kadang-kadang mempunyai keinginan untuk berhenti sebagai PSK di karnakan saya takut akan penyakit HIV/AIDS apa lagi menggingat anak-anak saya yang masih kecil dan sangat membutuhkan saya, saya tidak bisah membayangkan jika saya terkena penyakit tersebut bgai mana nasip anak-anak saya, tetapi saya tak ada kemampuan untuk cari kerja lain.  Karena hanya pekerjaan ini yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi saya dan anak-anak saya. Saat ini saya hanya perlu ada pihak lain yang memberi penjelasan yang benar mengenai cara pencegahan tentang HIV/AIDS.

Selanjutnya, responden juga mengatakan bahawa ia malu dan takut melakukan tes antobodi . Responden mengatakan seperti berikut: “ saya malu melakukan tes antibodi. ”
E.    Implikasi Psiko-Sosial Responden Jika Pendidikan HIV/AIDS Tidak Diberikan
Berkaitan dengan implikasi psikososial responden jika pendidikan HIV/AIDS tidak diberikan, responden mengungkapkan bahawa ia merasa takut, tidak tenang dalam menjalankan pekerjaannya. Responden juga mengungkapkan akan cemas dan tidak nyaman dalam hidupnya. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:
Setiap saya melakukan hubungan seks saya selalu merasa takut dan tidak tenang. Jika saya terjangkit sayatidak bisah membayangkan nasip anak-anak saya kelak dan saya tidak tega jika saya menulari pelanggan saya

Seterusnya responden berharap ada pihak lain memberikan pendidikan atau maklumat  tentang HIV/AIDS. Lebih lanjut responden mengatakan seperti berikut:
 Saya berharap ada pihak lain untuk memberikan maklumat yang benar tentang HIV/AIDS termasuk jangkitan dan rawatannya.  Jika ada pendidikan HIV/AIDS saya akan faham dan mengetahui cara mencegah terjangkitnya virus tersebut.

F.    Rangkuman Kasus
•    Usia    : 28 th
•    Alamat    : Kebon Kelapa
•    Status    : Janda
•    Suku    : Sunda
•    Pekerjaan    : pelayan warung + WTS
•    Pendidikan    : Tamat SMP
•    Pekerjaan ayah    : pedagang es (tidak tetap)
•    Pekerjaan ibu    : Ibu Rumah Tangga

G.    Rangkuman Biografi
Anak-anak :
•    Tidak pernah mendapatkan pemenuhan kebutuhan kasih sayang dan diabaikan orang tua
•    Tidak diajarkan nilai-nilai oleh orang tua
•    Sering dipukul dan mendapat hukuman
•    Tidak lanjut sekolah
•    Mengalami sakit parah karena sering menahan lapar
•    Dilarang orang tua bermain bersama teman-temannya
Remaja:
•    Bekerja demi membantu orang tua
•    Menikah di usia 15 tahun
•    Bekerja di warung minuman
Dewasa :
•    Bekerja bersama paman dan bibinya
•    Diperkosa pacarnya
•    Berkenalan dengan laki-laki yang akhirnya membuatnya jadi WTS





BAB IV
UPAYA UNTUK MEMINIMALISIR WTS (Wanita Tuna Susila)

A.    Upaya dari Pemerintah
1.    Adanya alokasi anggaran dari pemerintah untuk perlindungan bagi para WTS, alokasi anggaran ini nantinya dapat digunakan untuk membiayai semua kegiatan pembangunan yang digunakan untuk membiayai semua kegiatan pembangunan yang ditunjukan bagi WTS. Alokasi jangan digunakan untuk kegiatan dalam merazia para WTS karena percuma, banyak juga menimbulkan oknum dan anggota meminta jatah pada para WTS tersebut jika tidak ingin di razia .Pihak-pihak yang paling berkompeten dalam menangani hal ini adalah DPRD dan Bapeda.
2.    Adanya peraturan daerah yang melindungi anak-anak, terutama anak-anak yang dilacurkan. Peraturan daerah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada anak dalam bentuk kepastian hokum. Selama ini dalam kehidupan masyarakat sehari-hari  banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak, namun pelakunya belum mendapatkan tindakan hukum yang tegas dan dirasakan adil bagi anak.
3.    Mengadakan pusat kegiatan, selama ini para WTS kurang mendapatkan tempat bagi penyaluran aspirasi dan keinginan mereka. Sebagai contoh ruang public yang dapat di akses langsung secara bebas pun saat ini sudah sulit ditemukan. Pengadaan pusat kegiatan ini menjadi sangat penting akan mendapatkan tempat dari teman-teman atau keluarga yang mendukung berkembangnya potensi dan kreativitas mereka.
4.    Penanggulangan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS melalui pelayanan kesehatan pendampingan, konseling, dan advokasi. Pergaulan bebas dan prostitusi sangat rawan akan penyebaran penyakit menular seksual HIV/AIDS. Untuk itu perlu sekali mendapatkan pengetahuan mengenai bahaya penyakit tersebut. Sebab dalam penelitian bahwa pengetahuan mereka rendah, cara pengobatan yang mereka tempuh pun sangat sederhana dan kurang tepat. Dalam hal ini menjadi tugas dari Dinas Kesehatan, LSM, Perguruan Tinggi, Profesional.
5.    Pendidikan dan pelatihan bagi yang membutuhkan perlindungan khusus, Dinas Pendidikan dan LSM dapat berkerja sama untuk memberikan pendidikan dan pelatihan ini. Pendidikan dan pelatihan tersebut berguna bagi anak sebagai bekal kembali kepada masyarakat dan untuk menunjang kemandirian mereka nantinya.
6.    Pendidikan kesehatan reproduksi serta bahaya narkoba, Dinas Kesehatan dan pihak kepolisian dapat berkerja sama untuk melaksanakan hal tersebut. Beberapa WTS bahakan tidak menggunakan pengaman apa pun saat mlayani konsumennya. Di samping itu pergaulan bebas dan sindikasi peredaran narkoba telah menyebabkan pengguna dan peredaran narkoba meningkat. Untuk itu pendidikan kesehatan reproduksi dan bahaya narkoba menjadi suatu hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilaksanakan.

B.    Upaya dari Masyarakat
1.    Menerima kembali di dalam masyarakat, agar bisa berkembang dalam berpastispasi terhadap masyarakat dan tidak merasa di kucilkan.
2.    Memberikan rasa nyaman, agar tidak timbul stigma negative diantara kedua belah pihak, dan merasa membutuhkan satu sama lain dalam berinteraksi.
3.    Membantu dalam memngembangkan keahlian di dalam masyarakat, agar jasanya untuk masyarakat bisa dirasakan manfaatnya bersama dan saling bertukar ilmu yang berguna dan bermanfaat.

BAB V
DOKUMENTASI HASIL OBSERFASI
               
BAB VI
PENUTUP

Prostitusi adalah salah satu bentuk deviasi social yang dapat menimbulkan berbagai dampak social dalam kehidupan warga masyarakat. Oleh karena itu, ruang geraknya perlu dibatasi agar tidak meluas dimasyarakat. Prostitusi dilate  belakangi oleh berbagai factor yang bersifat internal dan eksternal, yang meliputi berbagai aspek yang saling terkait antara factor yang bersifat budaya, kondisi ekonomi, kurangnya pemahaman agama, dan factor biologis.
 Ilmuwan dibidang pengetahuan social termasuk penelitian mempunyai peran yang sangat penting dalam perumusan kebijaksanaan dan program-program kesejahteraan social antara lan yang terkait dengan masalah pencegahan penyebarluasan prostitusi. Banyak masalah yang timbul dalam upaya perubahan cara hidup WTS, khususnya yang berkaitan dengan teknis penyantunan dan rehabilitasi  mereka. Dengan demikian masalah-masalah tersebut perlu dipelajari.
Isu utama dalam lingkup penelitian pencegahan prostitusi adalah menemukan bagaimana penyandang masalah WTS segera merubah prilaku, memberi kesempatan-kesempatan pekerjaan normative, apa hambatan, dan reaksi terhadap kebiasaan masa lalu.
Ada 3 macam model Penanggulangan dalam rangka menekan perluasan kegiatan prostitusi yang meliputi 3 macam pencegahan yang pelaksanaanya diperlukan kerjasama antara penyandang masalah WTS, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat. Model pencegahan pertama yang merupakan upaya pencegahan agar seseorang tidak menjadi WTS. Model pencegahan kedua merupakan upaya merehabilitasi WTS untuk meninggalkan pekerjaan dibidang prostitusi yang secara hukum dianggap pekerjaan yang tidak layak bagi manusia dan pelanggaran norma agama. Model pencegahan yang ketiga adalah alih pekerjaan mucikari/germo menjadi pengusaha ekonomi produktif sesuai dengan potensi geografis daerah dimana mereka bertempat tinggal.